Jepang Hadapi “Guncangan Indonesia”

Penjualan Komatsu, Hitachi, Kobelco, dan Sumitomo Tertekan oleh Anjloknya Harga Batu Bara dan Perubahan Anggaran Infrastruktur

Industri alat berat Jepang memasuki fase penyesuaian baru pada tahun 2025–2026. Empat produsen besar—Komatsu, Hitachi Construction Machinery, Kobelco Construction Machinery, dan Sumitomo Construction Machinery—merilis proyeksi kinerja terbaru, dan tiga di antaranya memperkirakan penurunan pendapatan.

Meski tarif impor Amerika Serikat banyak disebut sebagai penyebab utama, faktor yang paling besar justru datang dari melemahnya permintaan di Indonesia, pasar yang selama lebih dari satu dekade menjadi sumber pertumbuhan dan profitabilitas bagi produsen alat berat Jepang.


Harga Batu Bara Turun Tajam, Investasi Tambang Melambat

Indonesia selama bertahun-tahun menjadi pasar penting bagi Komatsu dan Hitachi berkat penjualan excavator dan dump truck untuk tambang batu bara. Namun pada 2024–2025, pasar ini berubah drastis.

Beberapa indikator utama:

  • Harga batu bara Indonesia (HBA) jatuh dari rata-rata USD 201/ton (2023) menjadi USD 121/ton (2024).
  • Volume ekspor batu bara 2025 awal turun dua digit dibanding tahun sebelumnya.
  • Sejumlah perusahaan tambang menunda ekspansi dan pembelian alat berat baru.

Komatsu memproyeksikan penurunan penjualan di Asia sebesar 39,6%, terutama akibat melemahnya permintaan dari sektor tambang Indonesia.
Hitachi Construction Machinery juga memperkirakan penurunan penjualan di Asia dan menilai pasar tidak akan kembali ke level “super-cycle” seperti beberapa tahun lalu.

Industri tambang Indonesia memang tengah mengalami pergeseran: dari dominasi batu bara menuju mineral strategis seperti nikel, bauksit, dan bijih besi. Namun pergeseran ini tidak serta merta meningkatkan permintaan alat berat, karena banyak proyek beralih ke skala menengah dengan kebutuhan alat yang berbeda.


Investasi Infrastruktur Masuk Fase “Transisi Pemerintahan”

Selain sektor tambang, permintaan alat berat untuk proyek infrastruktur juga menunjukkan perlambatan.

Setelah pergantian pemerintahan pada 2024, pemerintah Indonesia melakukan penyesuaikan anggaran secara besar-besaran, termasuk:

  • Evaluasi ulang alokasi anggaran PUPR
  • Penjadwalan ulang beberapa proyek jalan, bendungan, dan pelabuhan
  • Penyesuaian pembiayaan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN)

Meski rencana jangka panjang 2025–2029 tetap menunjukkan potensi belanja infrastruktur yang sangat besar, tahun 2025 diprediksi menjadi periode “penataan ulang” yang menekan permintaan alat berat baru.


Strategi Masing-Masing Perusahaan Jepang di Indonesia

Komatsu

Mengandalkan layanan purnajual (after-sales), penjualan suku cadang, dan optimasi harga untuk mengompensasi penurunan dari sektor tambang. Komatsu juga mulai memperluas fokus dari alat tambang besar ke segmen alat serbaguna untuk pembangunan infrastruktur dan sektor rental.

Hitachi Construction Machinery

Mengoperasikan fasilitas produksi besar di Indonesia untuk excavator kelas berat. Strategi ke depan adalah menyeimbangkan portofolio antara pertambangan (nikel/bijih besi) dan infrastruktur seperti pembangunan IKN, termasuk kemungkinan meningkatkan ekspor dari Indonesia ke pasar ASEAN.

Kobelco Construction Machinery

Satu-satunya yang memproyeksikan pertumbuhan pendapatan global, tetapi pasar Jepang dan Eropa melemah. Untuk Indonesia, Kobelco mengincar sektor konstruksi menengah dan operator rental yang tetap aktif meski proyek besar melambat.

Sumitomo Construction Machinery

Memiliki pabrik di Indonesia, namun penjualan global tertekan akibat melemahnya permintaan di Amerika Utara. Salah satu fokus perusahaan adalah menjadikan Indonesia sebagai hub produksi Asia sembari mengembangkan model alat yang lebih sesuai untuk kebutuhan konstruksi lokal.


Tarif AS Menekan dari Arah Berlawanan

Selain tekanan dari pasar Indonesia, para produsen Jepang masih menghadapi tarif impor tinggi di Amerika Serikat.

  • Komatsu memperkirakan beban tarif sebesar JPY 550 miliar
  • Hitachi memperkirakan tambahan biaya produksi lebih dari JPY 100 miliar

Dampak terbesar diperkirakan terjadi pada tahun fiskal 2027, setelah stok alat berat yang bebas tarif habis.
Dengan demikian, produsen Jepang menghadapi tekanan ganda:
permintaan melemah di Indonesia dan biaya meningkat di Amerika Serikat.


Transformasi Struktural: Indonesia Tidak Lagi Sama

Jika ditarik garis besar, ada tiga perubahan struktural yang kini terjadi di Indonesia:

1. Akhir dari “Batu Bara Super-Cycle”

Permintaan alat berat besar untuk tambang tidak lagi stabil seperti sebelumnya.

2. Infrastruktur Masuk Era Prioritas Selektif

Bukan lagi proyek masif secara merata, tetapi fokus pada sektor logistik, energi, dan IKN.

3. Kenaikan Model Rental dan Layanan Jangka Panjang

Pemilik proyek memilih efisiensi melalui sewa (rental) dan layanan pemeliharaan, bukan pembelian unit baru.


Kesimpulan

Tahun 2025–2026 dapat dianggap sebagai “tahun penyesuaian” bagi produsen alat berat Jepang di Indonesia.
Prospek jangka panjang masih positif—terutama untuk proyek logistik, energi, dan IKN—namun strategi bisnis harus berubah:

  • Lebih sedikit ketergantungan pada batu bara
  • Lebih fokus pada sektor konstruksi yang berprioritas tinggi
  • Penetrasi lebih dalam ke model bisnis rental dan after-sales
  • Penguatan rantai pasok dan produksi lokal

Indonesia bukan lagi sekadar pasar volume besar bagi Jepang,
melainkan arena baru untuk mendesain ulang model bisnis alat berat di Asia Tenggara.